Kamis, Agustus 28, 2008

Sedikit tentang ayah, ibu dan aku.

Panggil saja aku Abu Faruq. Faruq adalah nama panggilan anak lelakiku. Aku ingin dipanggil dengan menisbatkan anakku, agar aku selalu ingat bahwa aku sudah punya tanggung jawab terhadap anak. Sejak kecil, ayah dan ibuku memanggil aku dengan panggilan kesayangan mereka, Apang. Tak usahlah kuceritakan apa arti dibalik nama panggilanku itu. Yang jelas, kakak, adik, kerabat dekat dan kawan-kawan masa kecilku memanggilku dengan nama itu. Kalau di internet aku sering menggunakan nama whatng. Kau pasti dapat menebak, bahwa itu berarti aku. Whatng adalah sambungan what+ng, yang dalam bahasa kita berarti apa+ng, yang jika disambung berbunyi apang. Kebanyakan kawanku kini memanggilku dengan nama depanku, Jufran. Tapi ada juga yang lebih senang memanggilku Helmi. Masih ingat apa kata Juliet kepada Romeo? "Apalah artinya sebuah nama. Bunga mawar tetap wangi walaupun dipanggil dengan nama apapun."

Aku dilahirkan dari keluarga guru. Ayahku guru agama, yang saban Jum'at mengajar agama melalui khutbah-khutbahnya di masjid atau ceramahnya di radio. Beliau selalu menuliskan khutbah dan ceramah beliau. Jarang beliau berceramah ataupun berkhutbah tanpa teks. Untuk nafkah keluarga, beliau bekerja sebagai pegawai negri di kantor pajak sampai beliau pensiun. Dalam kehidupanku, beliau adalah figur yang luar biasa. Beliau tak banyak bicara. Beliau sangat menjaga lidah agar tak seorangpun boleh tersakiti. Bagiku, juga bagi kakak dan adikku, beliau adalah simbol kejururan dan kesederhanaan hidup. Beliau contoh pribadi yang ideal, sehingga harus kami akui, bahwa kami tak pernah bisa meniru. Beliau hidup kana'ah. Kalau ada yang bertanya padaku seperti apakah jujur, zudud, dan kana'ah itu, aku akan teringat dengan ayah.

Masa kecil ayahku dihabiskan di pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukit Tinggi. Sering beliau ceritakan kisah-kisah tingkah polah kawan-kawannya sewaktu beliau belajar di Pesantren. Sering beliau tertawa sendiri ketika teringat dengan kejadian-kejadian lucu, betapapun kami kadang tidak merasa lucu.

Ibuku juga guru. hampir seluruh usia karirnya diabdikannya sebagai guru sekolah dasar. Bahkan ketika beliau sudah pensiunpun semangat mengajarnya belum pudar. Ketika sudah pensiun dan cukup lama beliau tinggal bersamaku, beliau masih sempatkan mengajar anak-anak tetangga mengaji selepas maghrib sambil menunggu 'isya. Ibu bersawah setiap pulang dari mengajar, biar beberapa bidang sawah warisan dari orang tuanya tak terlantar. Walaupun digarap secara paruh masa, hasil sawah itu cukup memadai untuk menghemat belanja keluarga kami karena tak perlu lagi membeli beras. Di musim-musim merumput di sawah, Ibu selalu membawa pulang cikarau atau kalayau, sejenis rumput sawah, tapi enak dimakan bila telah direbus. Aku senang menyantapnya, apalagi Ibu menghidangkannya pakai cabe uap yang digiling kasar.

Ibuku juga orang pesantren. Beliau pernah belajar di pesantren Madrasah Irsyadunnas, Padang Panjang semasa gadisnya. Walaupun Ibu terampil bercerita, cerita ibu di pesantren tak sebanyak cerita ayah. Mungkin cerita di pesantren tak ada yang lucu bagi Ibu. Ibuku seorang pelucu. Ibu pandai memilih-milih cerita yang lucu-lucu. Aku kakak beradik, apalagi ayahku, kadang-kadang harus memegang perut kencang-kencang untuk menahan tawa kalau beliau bercerita, sementara beliau sendiri tak sedikitpun merasa geli. Berbeda dengan ayah yang selalu menceritakan true story, cerita Ibu sering berwujud fiksi, alias karang-karangan. Kami tahu itu. Beliau kaya dengan anekdot-anekdot lucu seputar karib kerabat. Mungkin awalnya juga true story, tapi Ibu tak lupa memberinya bumbu hingga bisa selucu itu. Sayang sekali, beliau jarang menulis, sehingga cerita-cerita itu tak terdokumentasikan.

Kini, ayah ibuku sudah tak ada karena telah lama wafat. Keduanya dimakamkan dalam liang kubur yang sama, di Karet, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar