Di bagian inilah saya ingin mengisahkan tentang awal perkenalan saya dengan tokoh pembaru yang sangat kesohor, yang sudah berjuang untuk Islam sejak beliau masih belia sampai ke hari di saat usia beliau 71 tahun ini.Kalau saja nanti dalam tulisan-tulisan saya banyak menyebut nama beliau, tak seorangpun merasa asing dengan nama itu, karena saya telah memperkenalkan sedikit. Nanti, akan saya uraikan lebih rinci siapa beliau dan karamah apa yang telah terjadi dalam hidup saya sehingga saya memperoleh kesempatan mengaut ilmu dari beliau.
Bagaimana kisahnya? Ikuti perjalanan nerikut bersama saya!
Kami biasa memanggil beliau dengan panggilan abuya, yang dalam Bahasa Indonesia sepadan dengan panggilan ayah. Semua, anak, murid, maupun simpati, memanggilnya Abuya. Itulah panggilan kesayangan kami untuk beliau. Selalu pula kami iringi panggilan itu dengan panggilan syeikh dan imam sebagai tanda penghormatan. Dalam pandangan kami beliau adalah seorang syeikh dengan seluruh khasanah ilmu dan pengalamannya yang melimpah ruah yang tak pernah habis mengairi jiwa kami. Beliau juga seorang imam yang memandu hidup kami ke jalan Tuhan. Demikianlah kami selalu memanggil beliau Abuya Syeikh Imam. Kami sayang sekaligus hormat.
Setelah saya renung-renungkan siapa saya, rasanya terlalu mustahil saya bisa berjumpa, apalagi berkesempatan berguru, dengan seorang mursyid agung, pemimpin di zaman ini, Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At-Tamimi. Beliau tinggal di seberang sana, di Malaysia, sementara saya tinggal di sini, di Palembang atau di Jakarta. Jauh panggang dari api. Beliau bagaikan api yang terus menyuluh jiwa-jiwa yang haus yang selalu berdatangan yang berkenan menerima nasehat-nasehatnya, sementara saya setiap hari terpanggang oleh panasnya dunia yang disulut oleh hawa nafsu yang bersemayam di hati.
Ternyata Tuhan berkehendak lain. Allah yang Maha Penyayang pada saya akhirnya menjumpakan saya dengan seorang pemimpin tareqat terbesar di abad ini, seorang sufi, seorang pejuang pembaru yang fatwa-fatwanya telah mengguncang dunia Islam. Dengan segenap kelemahan dan kenekatan saya, kinipun saya telah berbaris di belakangnya.
Perkenalan saya dengan Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At-Tamimi belum begitu lama. Ia bermula di suatu hari bersejarah 13 Januari 2002. Waktu itu, dengan izin Allah, saya diundang menghadiri suatu pertemuan yang diberi nama Kongres Ummat Islam Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh kawan-kawan dari Majlis Mujahidin di Palembang. Saya bukan anggota Majlis Mujahidin. Saya cuma undangan saja, karena beberapa kawan saya memang bergabung di situ. Mereka memberi saya undangan sebagai pendengar.
Undangan kongres itu menarik minat saya karena temanya hebat. Temanya penegakan syariah Islam. Waktu itu saya belum tahu benar apa gagasan inti yang akan disampaikan dan materi apa saja yang akan didiskusikan. "Ini suatu kesempatan mengulang-ulang kaji lama." pikir saya. Telah lama rasanya saya tidak mengaji dan mengikuti perkembangan pergerakan Islam akhir-akhir ini. Yang jelas, saya yakin dalam pertemuan itu saya dapat mendengar berbagai paparan terkini mengenai upaya penegakan syariat dari tokoh-tokoh atau mujahid-mujahid.
Saya tahu, ini suatu ide yang sangat besar dan berat, sekaligus penuh tantangan. Telah banyak yang menggagasnya dari dulu dan sebanyak itu pula yang tak mengutak-atiknya lagi sekarang. Entah kerena sibuk atau kehabisan bahan.
Intinya, di kongres inilah saya mendengarkan salah satu paparan mengenai ekonomi Islam. Seorang ustaz, kira-kira seusia saya, tampil berserban. Dia dibantu oleh beberapa orang, dua atau tiga, untuk menyusun-nyusunkan makalah dan mengatur laptop, pemantul dan layarnya. Semua yang membantu itu juga berserban. Nampaknya mereka sengaja berseragam. Ustaz memperkenalkan diri bahwa beliau dari suatu group usaha yang bernama Hawariyun. Beliaupun kemudian membuka paparannya dengan suatu penjelasan ringkas bahwa di forum ini beliau hanya akan memfokuskan pembicaraan di sekitar pengalaman kelompok Hawariyun. Maksudnya, beliau tak akan banyak bicara tentang penegakan syariat Islam di Indonesia apalagi di dunia. Beliau hanya akan membicarakan susah senangnya bersyariat di suatu usaha ekonomi yang dicita-citakan menjadi role model dunia: Hawariyun.
Pembicara itu adalah Ustaz Ir. M. Rizal Khatib, MSc. Beliau adalah salah seorang pimpinan Hawariyun Indonesia. Pertemuan itu rasanya tak terlupakan. Beliau tampil sederhana. Kata-katanya halus berbudi bahasa. Saya tak bisa melupakannya. Kostum yang digunakannya mengingatkan saya akan wali-wali dari tanah jawa yang telah berhasil mengislamkan sebagian besar wilayah nusantara di abad ke 13 M yang lalu. Beliau berserban yang dililitkan di kepala, serta memakai celak mata. Beliau berbaju teluk belanga putih dengan stelan jas berwarna krem muda dengan cantolan dipundaknya, ala jas Bung Karno tempo dulu. Kawan-kawan lainnya, yang ikut membantu paparannya menambah kesan teduh dan meneduhkan. Mereka orang-orang halus (maksud saya kesantunannya), yang berserban dan juga bercelak mata.
Paparan Ustaz Em (panggilan akrab ustaz ini) terasa mengalir lancar. Kata-kata yang disampaikan begitu indah. Gambar-gambar dari laptop yang disorotkan ke layar sangat mendukung penjelasan-penjelasannya. Beberapa kali diselingi pula dengan pembacaan puisi. Lucu sekali, kok puisi judulnya "Ekonomi Islam"? Tapi itulah adanya.
Saya katakan tadi bahwa itulah hari bersejarah. Mengapa? Karena hari itu saya memulai babak baru kehidupan saya. Terus terang, dari semua presentasi yang disampaikan dalam kongres itu oleh pembicara yang berganti-ganti, paparan mengenai ekonomi yang disampaikan oleh Ustaz M Rizal Khatib paling menarik saya. Maaf, saya tidak bermaksud mengatakan presentasi yang lain tidak bagus. Bagus! Saya tertarik pada paparan itu, barangkali karena materinya berkaitan dengan persoalan aktual yang sedang saya hadapi. Waktu itu saya sedang menghadapi kesulitan dalam mengelola satu koperasi yang saya rintis bersama kawan-kawan di Kota Prabumulih dari tahun 1997 yang pada waktu itu sudah terancam tutup. Artinya, masalah saya ada kaitan dengan ekonomi.
Dengan alasan itu, saya merasa presentasi itu perlu diperpanjangkan. Maksudnya, presentasi itu perlu dikaji lebih jauh lagi dan saya sangat bersedia mengikuti walaupun saya harus duduk di sana lebih lama lagi. Tapi tak mungkin, panitia telah menjatahkan waktu kongres untuk banyak pembicara.
Setelah presentasi, Ustaz keluar. Orang-orangpun keluar dan saya juga keluar, karena azan Zuhurpun berkumandang. Tapi, selepas shalat berjamaah di mesjid Asrama Haji, tempat seminar itu berlangsung, saya dan tiga orang kawan menemui Ustaz Em di salah satu ruangan yang disediakan panitia untuk semua pembicara. Sayapun mengundang beliau datang ke Kota Prabumulih untuk membicarakan lebih lanjut paparan yang beliau sampaikan di kongres. Saya katakan bahwa paparannya sangat menarik dan penting bagi saya dan kawan-kawan di Prabumulih. Kalau ustaz bersedia, saya berjanji untuk mengumpulkan beberapa orang untuk bergabung untuk mengaji masalah ekonomi ini bersamanya sampai tuntas. Kami ingin mendapat informasi lebih banyak, terutama hal-hal yang tak akan cukup waktunya kalau dibicarakan di kongres.
Apa yang terjadi? Gayung bersambut, katapun berjawab. Dengan izin Allah yang Maha Kaya, pertemuan selanjutnya berhasil diadakan di Prabumulih. Salah seorang kawan bersedia meminjamkan rumahnya untuk tempat acara. Yang lain menyediakan makan minum. Mungkin ada sekitar lima atau enam orang yang berpartisipasi dalam acara itu secara aktif sampai acara itu selesai.
Apa kaitannya dengan Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi?
Nah, dari pertemuan di Prabumulih itu barulah saya tahu, bahwa konsep pemikiran yang disampaikan di kongres itu adalah konsep pemikiranan Abuya. Luar biasa! Ustaz Em membocorkan rahasia, bahwa kemana-manapun ia memberi ceramah, yang dibawakannya selalu konsep Abuya. Konon kabarnya, beliau dan kawan-kawannya telah mengusung konsep itu sampai ke Timur Tengah, Eropah, dan Australia. Bukan hanya konsep ekonomi, tapi juga telah disampaikan konsep politik, pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan Islam menurut pandangan Abuya Ashaari Muhammad At Tamimi.
Mula-mulanya saya sedikit agak kaku menyimak pelajaran dari Ustaz Em. Banyak istilah yang asing bagi saya, terutama istilah-istilah berbahasa Melayu. Istilah-istilah seperti minda, tolak angsur, rasa bertuhan, rasa kehambaan baru sekali itulah saya dengar. Walaupun asing, tapi istilah itu terasa menarik. Selama ini kita membunuh istilah-istilah Melayu dalam khasanah masyarakat kita dengan istilah-istilah Inggris atau Belanda. Katanya "biar keren abis". Bahkan dalam pelajaran agamapun kita lebih terbiasa menggunakan istilah berbahasa Arab asli daripada menggunakan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Sebutlah contohnya. Beberapa kawan di Indonesia katanya lebih mantap dan terbiasa menyebut saum daripada puasa. Saya, mungkin juga anda pasti merasa lebih nyaman menyebut shalat daripada sembahyang. Bahkan saya sendiri agak kaku kalau menyebut Tuhan. Biasanya saya menyebut Allah. Jika disebut Tuhan, kesannya seperti kawan-kawan agama lain menyebut.
Baiklah, saya tak akan memperpanjangkan masalah istilah-istilah ini di sini. Saya akan memperbincangkan persoalan istilah-istilah ini di tulisan yang akan datang. Kita kembali ke masalah konsep Abuya semula.
Dalam pertemuan dengan Ustaz Em itu, selain konsep ekonomi, dibahas pula konsep-konsep lain seperti politik, pemerintahan, pendidikan, kebudayan, dan pembinaan masyarakat walaupun secara ringkas-ringkas. Dibicarakan juga disitu bagaimana trik-trik Abuya dalam pembinaan keluarga dan jamaahnya. Diulas pula di situ banyak metodologi Abuya memahami Kitabullah dan Sunnah. Kagumlah saya, betapa luasnya pandangan seseorang yang belum saya kenal secara rinci itu kecuali melalui lidah Ustaz Em. Beliau memiliki jawaban atas banyak masalah yang selama ini saya dan kawan-kawan pertanyakan. Tentunya, saat itu pembahasannya belum mendalam. Saya faham bahwa tak mungkin mendalami semuanya dalam waktu yang terbatas seperti itu.
Kami menahan Ustaz Em tiga hari tiga malam di Prabumulih. Walaupun demikian, saya belum merasa cukup mengenal Abuya. Saya masih punya PR berikutnya. Untuk sekedar pemanasan, lumayanlah. Itu cukup untuk mengenal secara garis besar plot perjuangan Abuya beserta murid-muridnya.
Abuya ternyata bukan hanya guru seperti kebanyakan guru yang kita kenal. Beliau adalah pejuang, yang sejak mudanya berdakwah mengajak manusia kepada sistem Tuhan. Di usia mudanya, beliau mendirikan dan memimpin Arqam, sampai Arqam itu dilarang di Malaysia. Sekarang beliau memimpin jamaah yang jauh lebih besar dari Arqam. Jamaah beliau adalah jamah tareqat, yang tak hanya menghabiskan waktu dengan wirid, tapi berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Beliau seorang pakar sekaligus pelaku ekonomi. Bahkan beliau seorang pakar dan pelaku sejarah sekaligus. Beliau berjuang tanpa kekerasan. Halus tapi menghanyutkan.
Yang lebih unik, beliau ternyata juga seorang intelektuaal dan pujangga besar dengan ratusan karyanya, baik dalam buku-buku panduan, maupun dalam bentuk puisi maupun prosa. Beberapa puisinya dibacakan waktu itu dan nasyidnya didendangkan. Kami pun terharu.
Itu belum selesai. Saya akan jelaskan mengapa pola perjuangan Abuya berbeda dari perjuangan pejuang-pejuang Islam lainnya. Ada satu yang khas ayang akan saya ceritakan, yaitu suatu metodologi yang unik yang beliau gunakan dalam memberikan pembelajaran kepada murid-muridnya dalam mengamalkan dan menyebarkan Islam, yaitu ekpedisi. Ikuti cerita saya di edisi selanjutnya.
Assalamu'alaikum warahmatullah.
BalasHapusP'gufran perkenalkan sy siska. Sy baru tahu sebulan kemarin tentang almarhum Abuya Ashaari Muhamad At-tamimi semoga Tuhan selalu meridhai beliau. bermula waktu teman sy mebroadcast video almarhum. Sy tertarik dgn profil beliau, bisakah p'Gufran berbagi ilmu kpd saya ttg apa saja yg sdh d ajarkan kpd p'Ghufran.terimakasih.
Blog ini ditulis oleh pk gurfron sebelum dia jadi penentang abuya..malah byk tulisan2 beliau smrg mnyesatkan Abuya Klu skrg cuba ditanya pd beliau siapa Abuya..
HapusItulah mahalnya hidayah bila Allah tarik semula..
terima kasih atas ilmunya
BalasHapusSaya juga ada membaca tulisan ini,sangat berguna.
BalasHapus