Jumat, Agustus 29, 2008
Buah Pena Abuya Ashaari Muhammad
Pada perjumpan saya yang pertama dengan muridnya di Palembang, sebagai awal perkenalan saya dengan Abuya, saya dihadiahi buku karya Abuya, "Mengenal Diri Melalui Rasa Hati". Itulah buku pertama Abuya yang singgah dalam kehidupan saya. Buku itu telah menjadi pengantar saya kepada khasanah karya Abuya yang lain di belakangnya
Buku Mengenal Diri Melalui Rasa Hati berisi essai dan sajak-sajak yang membahas tentang rahasia hati manusia. Hati dipandang sebagai satu yang misteri dan penuh rahasia. Menyelaminya bersifat wajib, karena di dalamnya kita mengenal siapa kita yang sesungguhnya. Dengan mengenal rasa hati, kita akan tahu kemana ujung perjalanan kita di dunia ini, an bagaimana kualitasnya. Dalam buku ini pula terdapat beberapa sajak tentang hati.
Setelah membaca buku "Mengenal Diri Melalui Rasa HAti", saya merasa menemui satu hal yang baru, format baru dalam perjuangan. Saya rasa inilah yang selama ini saya cari. Suatu pemikiran yang sederhana, menyentuh, dan sangat aplikatif. Suatu pola pikiran yang mudah dipahami dan terasa hidup. Sajak-sajak yang disampaikan terasa menyentuh perasaan yang sangat dalam, disamping berisikan bahan-bahan pemikiran.
Sebagian besar konsep yang pernah saya pelajari di Masjid Salman dulu, seperti tauhid, fikir-zikir, alam, manusia, sunatullah, dan sejarah shalafus-shaleh, sungguh aneh, dapat dirangkum oleh Abuya dalam beberapa sajak saja. Padahal sebelumnya saya harus mengernyitkan kening menelaah tumpukan buku-buku.
Tidak lebih seminggu, sejak Ust M. Rizal Khatib menghadiahkan buku "Mengenal Diri Melalui Rasa Hati" pada saya, saya sudah menamatkan membaca buku itu. Berkali-kali saya menatap ulang halaman-halaman yang telah saya lewati. Buku itu meninggalkan suatu rasa aneh di hati.
Walaupun buku ini mengingatkan saya pada fikiran Imam Al-Ghazali, tapi buku ini terasa sangat sederhana dengan ilustrasi yang mudah. Karya Abuya ini menyederhanakan pemikiran Al-Ghazali yang panjang lebar menjadi pemikiran yang mudah diamalkan. Barangkali karena ditulis dengan gaya bahasa "bertutur" maka terasa penulisnya ada dihadapan kita.
Buku itu telah mendorong saya untuk mencari karya Abuya yang lain. Tanpa banyak kesulitan 3 karya lainnyapun menghampiri saya. Itulah buku "Ibadah Menurut Islam", "Iman dan Persoalannya" dan "Kasih Sayang Kunci Perpaduan Sejagat". Selain buku-buku yang telah terbit itu, saya beruntung mendapatkan pula sejumlah makalah dan sajak-sajak beliau yang lain yang berbentuk lembaran-lembaran lepas.
Terlalu panjang kalau seluruh buku Abuya diringkas disini. Saya hanya mendorong anda untuk ikut menyelami khasanah ilmu yang luar biasa ini melalui buah pena Abuya yang luar biasa.
Secara umum, Abuya dalam karya-karyanya menekankan bahwa perjuangan menegakkan syariat itu ialah menegakkan hukum Islam yang 5 (wajib, sunnat, makruh, haram, dan mubah) di semua peringkat dan aspek kehidupan. Itulah matlamat perjuangan. Kekuatan ekonomi, kekuasaan politik, kedudukan, popularitas, dan seluruh kekayaan duniawi hanyalah alat perjuangan. Jangan keliru menempatkan mana matlamat dan mana alat. Abuya memperlihatkan betapa banyak pejuang yang keliru dalam memahami semuanya ini. Mereka mempertukarkan alat dengan matlamat. Padahal alat perjuangan dapat dikembangkan dengan kreatif tergantung keperluan semasa. Matlamat mesti tetap.
Karena itu, kejayaan perjuangan dalam definisi Abuya hanya diukur dari dapat atau tidaknya redho Tuhan serta tegak atau tidaknya syariat Tuhan dalam kehidupan. Bila tegak dinamakan berjaya, dan bila tidak tegak itulah gagal, betapapun kekuasaan ekonomi, politik dan lain-lain di tangan.
Perjuangan mesti dibuat dalam urutan yang benar, tidak boleh diacak semaunya. Penegakan syariat mesti mengikuti kaedah yang ditetapkan Allah. Allah telah tetapkan bahwa perjuangan untuk peringkat kaum (masyarakat), mesti bermula dari perjuangan pada peringkat individu dan keluarga. Perjuangan mesti bermula dari perbaikan diri. Setelah itu dilanjutkan dengan perbaikan keluarga, berikutnya jamaah, kemudian masyarakat, negara dan dunia. Setiap pejuang mesti dilengkapi dengan pemahaman yang dalam mengenai Al-Quran dan As-Sunnah. Pemahaman inilah yang dinamakan minda. Setelah itu barulah dia akan mampu menegakkan hablumminallah dan hamblumminannas.
Hati yang diisi dengan iman, yang membuahkan rasa bertuhan, akan menjadi daya pendorong luar biasa bagi perjuangan. Abuya selalu menyampaikan bahwa hawa nafsu adalah musuh terbesar. Hawa nafsu hanya dapat dijinakkan oleh rasa takut dan cinta pada Allah yang selalu dibawa bersama. Dari sinilah lahirnya taqwa dalam jiwa. Dan taqwa merupakan modal terbesar untuk mendapatkan pertolongan Tuhan. Pembangunan material yang tidak didasari pada pembangunan insaniah, yaitu pembangunan roh yang bertaqwa, hanya akan menyisakan kemelaratan dan kesengsaraan manusia.
Barangkali yang khas dari pemikiran Abuya, adalah keyakinan beliau, bahwa kebangkitan Islam akan terjadi di abad ini, bahkan lebih spesifik di awal abad ini. Kepemimpinan yang akan dipimpin oleh khalifah akhir zaman yang akan meratakan keadilan di seluruh dunia, akan bermula di kawasan melayu (Indonesia-Malaysia). Inilah yang telah disebutkan dan dijanjikan oleh Rasulullah SAW dulu. Kalau kita memahami sepotong-sepotong, memang konsep ini susah untuk dicerna dan dimengerti, terutama oleh mereka yang sekularismenya telah mengkristal di otak. Tapi setelah kita mencoba memahami keseluruhan pemikiran Abuya, lambat laun konsep seperti ini tidak aneh lagi. Kita dapat menerima dengan lapang dada.
Pada awalnya beberapa pemikiran Abuya, terasa aneh. Saya mengalami itu. Salah satu contoh, masalah "tawasul". Pada mulanya ada kekhawatiran, kalau saya akan terjatuh pada syirik. Pemikiran seperti itu terjadi, karena banyak diantara kita, khususnya saya, tidak memahami hakikat syirik yang sebenarnya.
Karya-karya Abuya tidak hanya tinggal di kertas. Saya melihat bahwa karya-karya itu menyatu dalam cara berpikir, dan perilaku murid-muridnya yang banyak. Murid-murid beliau menyebar di berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara lain, tapi memiliki kesamaan langkah dan perilaku. Mereka memiliki daya juang yang luar biasa. Mereka fanatik berat dengan Abuya. Dari beberapa orang yang saya temui secara terpisah, bahkan saya melihat kesamaan cara berpikir. Padahal saya tahu mereka datang dari berbagai latar-belakang. Saya yakin, ini tidak mungkin dilahirkan oleh seorang guru biasa tanpa karamah. Banyak guru-guru agama di mana saja. Tapi berapa orang yang dapat dipengaruhi perilakunya oleh guru itu? Bahkan saya sering melihat guru yang bahkan tak mampu mengubah perilaku anak dan istrinya sendiri, juga tidak mampu mengubah perilakunya sendiri. Aneh kan?
Saya bertemu dengan murid-murid Abuya di Palembang, Bandung, dan Jakarta. Dengan izin Allah, saya sempat juga berjumpa dengan murid-murid beliau di Malaysia, Singapura, dan Brunei. Ada suatu gambaran yang jelas tentang sosok Abuya. Ust Muhammad Jundullah, misalnya yang saya temui pertama kali sekitar Juli 2002, di rumahnya di Jakarta, telah mengesankan saya akan pribadi yang simpati tapi gigih. Saya menyaksikan lahirnya pemikiran-pemikiran Abuya itu pada murid-murid beliau yang lain. Sepak terjang mereka, kebersamaan dan ukhuwah di antara mereka nampak selaras. Melihat lurusnya shaf shalat mereka saja telah merupakan satu fenomena tersendiri. Apalagi jika dilihat perilaku yang selaras satu sama lain. Saya sempat menjumpai beberapa orang anaknya dan puluhan murid-murid yang selalu berjejer di depannya berkarya, baik di Malaysia dan di tempat-tempat lain yang berbeda-beda baik di Indonesia dan Malaysia. Semuanya menggambarkan keramahan dan kegigihan yang sama. Pola perjuangan yang sama. Subhanallah.
Alhamdulillah, Awal Januari 2003, saya diizinkankan Allah berjumpa dengan tokoh yang hampir setahun ini saya kenal hanya melalui buku, sajak, dan transkrip kuliah-kuliahnya, yaitu Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At-Tamimi. Memang jauh perjalanan yang mesti ditempuh agar dapat jumpa. Mesti ke Labuan, Malaysia Timur. Tapi saya puas dan bangga. Saya bersyukur bisa berjumpa pula dengan keluarga beliau, ketiga istri dan sebagian anak-anak beliau. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan keluarga beliau, bagaimana kehidupan jamaah yang beliau bina, dan melihat berbagai proyek-proyek ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan yang dibangun untuk perjuangan. Istri saya telah pula menyertai saya berjumpa Abuya Mei 2003 yang baru lalu pada perjumpaan saya yang kedua.
Dengan izin Allah, sayapun akhirnya bekesempatan menyertai ekspedisi bersama jamaah Abuya di beberapa kota di Indonesia. Saya ikut pula ekpedisi ke Thailand, Singapura, Brunei, Yordania, Syuriah, Makkah dan Madinah. Perjalanan itu semakin memperlihatkan betapa luasnya jalinan da'wah dan hebatnya kepemimpinan Beliau.
Ketika berbagai tokoh baru memperkatakan iman, ukhuwah, dan kasih sayang. Abuya, keluarga. Dan jamaahnya telah menampakkannya dalam wujud yang dapat dibuktikan.
Saya belum beruntung untuk membaca seluruh karya Abuya, karena sebagian besarnya belum saya peroleh. Tapi kalau sekedar 27 judul buku. ditambah dengan sejumlah transkrip kuliah dan bundelan sajak, ya sudah saya baca. Dari biografi beliau, Abuya khabarnya telah menulis lebih dari 60 judul buku. Jadi baru saya baca sepertiganya. Betapa luasnya khazanah ilmu beliau. Betapa produktifnya beliau menuliskan karya-karya itu. Kalaulah bukan karena pertolongan Allah, tentu karya-karya itu tak mungkin wujud. Dari buku-buku yang pernah saya baca saja, bertebaran berbagai hikmah dari berbagai persoalan Islam dan Ummat. Semuanya dikemas dengan bahasa sederhana, mudah dipahami. Ilustrasinya hidup. Kata-katanya menyentuh perasaaan. Tauhid, rasa bertuhan, dan rasa kehambaan merupakan inti pembahasannya dengan berbagai implikasinya pada kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Banyak istilah yang didefinisikan kembali sesuai dengan pemahaman beliau terhadap Al-Quran dan Sunnah. Semua itu sangat aktual.
Ada yang datang bertanya pada saya, "Apa yang menarik anda dengan Abuya?". Saya menjawab, "hampir semuanya". Dalam dirinya ada Iman, ada Ilmu, dan ada Amal. Suatu ketika, saya rasakan beliau sebagai ulama besar dengan seluruh khazanah ilmunya, kadang-kadang beliau terasa sebagai guru yang sangat perhatian pada murid-muridnya. Kadang-kadang terasa beliau sebagai pemimpin ummat yang sangat kharismatik. Bagi yang pernah berjumpa langsung, tentu akan merasakan bahwa beliau sebagai sang ayah yang sangat kasih pada putra putrinya. Barangkali beliau memang manusia dengan multi dimensi, yang dalam diri beliau ada keempat-empatnya. Itu sebagai buah dari perjalanan hidup beliau, berjuang untuk Tuhan. Akankah kita menapaki jalan yang sama? Semoga! Wallahu a'lam.
Metodologi Perjuangan Abuya Ashaari Muhammad
Mount Nebo terletak di daerah perbatasan Palestina dan Yordania. Dengan mengendarai kendaraan dari Amman menelusuri lembah barat Yordania yang berbatu dan berliku-liku, dalam waktu tiga jam kita akan sampai di Mount Nebo. Dari puncak Mount Nebo yang kering tapi banyak ditumbuhi pohon Zaitun itu terlihat dengan jelas, ke arah barat, dataran tinggi Palestina yang subur. Saya dan beberapa kawan yang semuanya murid Abuya Ashaari Muhammad, terpesona merasakan kebesaran Tuhan dan kasihNya pada kami. Tak pernah kami menyangka sebelumnya bahwa suatu ketika kami akan sampai di sini, di tempat yang kisahnya di abadikan dalam Al-Quran dan dikenang sepanjang zaman.
Mount Nebo adalah tempat yang sangat bersejarah. Dulu, tempat ini di jadikan tempat beristirahat yang dipilih Nabi Musa bersama ribuan Bani Israil dalam perjalanan panjang mereka berjalan kaki dari Mesir ke Palestina, setelah mereka berhasil lolos dari kejaran Fir'aun di laut Merah. Di tempat ini Tuhan nampakkan keberkatan Nabi Musa yang lain selain keberhasilan mereka lolos di Laut Merah. Ketika mereka menderita lapar, Tuhan datangkan makanan yang bermacam-macam: roti, daging, dan buah-buahan. Padahal mustahil rasanya akan ada hewan buruan di situ, lebih-lebih lagi buah-buahan dan roti. Katika terik matahari, Tuhan datangkan awan yang menaungi mereka. Untuk minum dan mandi, Tuhan datangkan mata air dari batu setelah Musa memukulkan tongkatnya ke batu itu. Ada dua belas mata air yang letaknya berjauhan mengelilingi puncak Mount Nebo, sehingga setiap suku tak perlu berebutan, karena mereka punya masing-masing satu mata air. Sampai hari ini masih ada keduabelas mata air yang sangat jernih itu.
Tapi, di tempat ini pula Tuhan perlihatkan kebejatan akhlak Bani Israil pada Musa, yang tak putus-putusnya didebat dan dibantah oleh mereka. Mereka selalu menolak nasehat-nasehat Musa. Berbagai kekejian terus mereka lakukan, padahal hari demi hari mereka hidup dalam limbahan karunia Tuhan. Mereka tak hiraukan arahan pemimpin mereka, Musa. Inilah tempat terakhir Musa bersama mereka, karena sebelum mereka sampai di Palestina, tanah yang dijanjikan itu, Nabi Musa wafat di sini. Selepas itu, mereka hidup terlunta-lunta walaupun akhirnya berhasil melanjutkan perjalanan ke Palestina tanpa pimpinan Musa lagi. Dengan susah payah dan penyesalan mereka akhirnya memasuki Palestina juga, mengusung jenazah Musa ke sana.
Perjalan ke Mount Nebo itu adalah sebagian dari program ekpedisi ke tanah Syam yang pernah saya ikuti, sebagai sebuah proses pembelajaran yang diterapkan Abuya kepada muridnya. Setiap murid akan amengikuti ekspedisi yang berbeda-beda sesuai dengan kesempatan masing-masing, dengan tujuan dan anggota rombongan yang berbeda-beda.
Ekspedisi, dalam ajaran Abuya, tidak seperti berjalan-jalan yang dikenal masyarakat umum. Ekspedisi mengandung misi dan tujuan. Ekspedisi dilakukan oleh beberapa orang dan dipimpin oleh seorang Ustaz. Dalam ekpedisi selalu ada rencana tempat yang akan dikunjungi dan nama-nama orang yang akan diziarahi. Di dalam ekspedisi, dikuliahkan beberbagai pelajaran, dan didiskusikan berbagai hal yang menjadi isu terkini masyarakat. Wajarlah kiranya dalam sistem pembinaan Abuya, ekpedisi berhasil menjadi salah satu program andalan untuk memupuk kebersamaan murid-murid, sekaligus berhasil mengembangkan wawasan dan keilmuan mereka. Setiap tempat yang disinggahi dikaji dasar-dasar keilmuannya, dibahas latar belakangnya. Orang-orang soleh di daerah itu diziari, bahkan kuburnya.
Dalam perjuangannya, Abuya telah memilih ekspedisi ini sebagai sebuah program strategis dan berjangka panjang. Tidak satu kali suatu wilayah menjadi tujuan ekspedisi, dan tidak satu rombongan saja yang dikirim ke sana. Melalui ekspedisi inilah, Abuya dan murid-muridnya bisa mengenal berbagai wilayah di dunia ini, bukan sebagai tempat tujuan wisata saja, tetapi juga sebagai tujuan da'wah, ekonomi dan budaya. Dari program ekspedisi inilah, Abuya akhirnya berhasil membangun basis-basis jamaah hampir di seluruh wilayah penting di dunia. Di Indonesia saja, tempat-tempat yang awalnya hanya sebuah tujuan ekspedisi, sekarang telah berubah menjadi wilayah basis perjuangan yang meliputi kota-kota seperti Banda Aceh, Padang, Medan, Pekanbaru, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Bogor, Tasikmalaya, Semarang, Wonosobo, Pontianak, Makasar, dan Jayapura. Belum lagi kita sebut wilayah-wilayah di sepanjang semenanjung Malayasia sendiri dan Asia Tenggara serta wilayah luarnya seperti di Australia, Eropa, dan Timur Tengah. Semua wilayah yang awalnya hanya tujuan ekspedisi, akhirnya berubah menjadi wilayah basis pengembangan Islam yang terencana dan terpadu. Saya telah berkesempatan berekspedisi mengunjungi sebagian kecil wilayah-wilayah basis perjuangan Abuya tersebut yang telah berhasil dibangun, di Malaysia, Labuan, Bruney, Thailand, Singapura, Yordania, dan Suriah.
Di tempat-tempat itu, Abuya beserta murid-muridnya membangun model-pengamalan Islam, seperti usaha-usaha ekonomi, kebudayaaan dan pendidikan tergantung keadaan dan ketersediaan sumberdaya di wilayah yang ada. Inilah yang menjadi ciri khas perjuangan Abuya yang tampak berbeda dalam pandangan saya dibanding dengan pejuang-pejuang lain di dunia ini. Abuya memfokuskan perjuangannya pada amal dan ilmu membangun wilayah-wilayah, sementara yang lain, baru ditahap ilmu dan slogan-slogan. Abuya tak banyak berkoar-koar atau pidato berapi-api. Bagi beliau Islam harus diamalkan bukan hanya dibicarakan atau diseminarkan. Abuya tidak membangunnya sendiri, tetapi beliau membangunnya bersama-sama dalam satu jamaah yang rapi, terstruktur dan terpimpin.
Sebelum mengenal Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad at Atamimi, saya sudah sejak lama mendengar himbauan dari para guru dan tokoh-tokoh Islam. Seruan itu saya dengar sejak saya masih remaja. "Mari kita tegakkan Syariat Islam", "Mari kita perjuangkan kebenaran". Pada awalnya, pidato-pidato hebat semacam itu memang sangat menarik dan memicu semangat saya. Tapi anehnya, lama kelamaan realitas menjelma lain. Saya sering memergoki hal-hal yang dipraktekkan yang bertolak belakang dari seruan itu.
Kelihatannya, semangat ingin menegakkan Syariat Islam, belum sepenuhnya diiringi dengan usaha yang sungguh-sungguh dan benar-benar ikhlas oleh kebanyakan pejuang. Banyak kepentingan di balik usaha itu. Perjuangan syariat terkesan seperti menumpang nama besar syariat itu sendiri. Bukannya jadi pejuang, tapi banyak pejuang malah jadi pecundang. Walaupun terus dilaungkan, berapa orangkah yang benar-benar berjuang? Berapa orangkah yang benar-benar berkorban? Semua orang dapat saja berteriak "Dienul Haq ini mesti ditegakkan dalam seluruh peringkat kehidupan melalui suatu perjuangan". Tapi lihatlah apa kenyataannya.
Kalau sekedar memberi semangat, ya. Pada awalnya slogan-slogan ini cukup memotivasi saya untuk ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan dakwah, baik sendiri maupun berjamaah. Setidak-tidaknya semangat yang saya peroleh ini telah memicu saya mengikuti berbagai kajian keislaman termasuk membeli dan membaca buku-buku tentang Islam. Saya ikuti berbagai diskusi. Asal disebut ada Islam nya saya tertarik.
Terus terang, waktu saya masih di kelas dua SMA di Jakarta dulu (tahun 80-an), selesai ikut pesantren kilat Ramadhan bersama tokoh-tokoh HMI, saya pulang ke rumah berapi-api. Banyak persoalan hangat yang berhasil memicu semangat. Pulang dari sana, rasanya saya harus langsung berjuang. Tak tahu, saya harus berjuang seperti apa, yang penting semangatnya dulu. Jiwa berapi-api seperti penuh dengan amunisi. Maklumlah saya waktu itu masih remaja, masih senang dengan yang panas-panas. Saya biasanya ngantuk mendengarkan ceramah yang lesu.
Setelah lama-lama, kenyataannya jadi berbeda. Saya, kok, jadi melihat tokoh-tokoh idola saya itu lain. Mereka lantang memperkatakan kebenaran, memperkatakan syari'at, tapi kebenaran dan syariat yang diperkatakan itu sedikitpun tidak wujud dalam kehidupan mereka sehari-hari. Rokok saja, misalnya, merupakan pemandangan sehari-hari di berbagai pertemuan tokoh-tokoh Islam itu. Asap rokoknya berhamburan kemana-mana. Padahal banyak sekali orang-orang lain yang terganggu dengan asap rokok itu. Mereka merokok tidak peduli di pasar atau di masjid. Padahal mereka berkata bahwa rokok makruh (dibenci Allah). "Lho, kok pejuang Tuhan mengerjakan pekerjaan yang dibenci Tuhan itu sendiri?"
Sebagai remaja saya hanya heran, bagaimana mungkin seorang pejuang kebenaran yang selalu mengajak manusia ke jalan Allah tetapi memperbuat perkara yang dibenci Allah. Itu baru satu contoh saja. Sebenarnya saya telah melihat contoh-contoh lain yang intinya sama atau bahkan jauh lebih parah. Saya melihat perbuatan para pejuang Islam yang membuat perjuangan Islam menjadi coreng moreng. Sayapun akhirnya kecewa.
Waktu saya belajar sebagi mahasiswa di ITB Bandung, alhamdulillah saya berkesempatan belajar dan aktif di Masjid Salman ITB. Saya dirizkikan pula dapat tinggal di asrama Masjid Salman yang bersejarah itu. Saya senang. Mengapa? Salah satunya, karena rokok di sana diharamkan, bukan diamakruhkan. Saya menjadi ingat dengan ayah saya yang sangat benci melihat orang merokok, walaupun beliau tak pernah memfatwakan bahwa merokok haram. Paling-paling beliau mengatakan rokok itu makruh karena asapnya menggangu orang lain.
Saya sangat sependapat dengan Bang Imad, salah seorang tokoh pendiri Masjid Salman yang telah berhasil menyadarkan saya bahwa rokok itu buruk. Ditempat baru ini, maksud saya di Salman, saya mencoba menggali kembali semangat perjuangan yang semula membara waktu saya remaja, dan kemudian kendor di tengah jalan karena kehilangan suluh.
Di Masjid Salmanlah tempatnya. Jungkir balik dengan kawan-kawan di Masjid Salman memang mengasyikkan. Di Masjid Salmanlah sebenarnya saya merasa serius mempelajari Islam di bawah bimbingan berbagai guru. Walaupun saya berguru tidak seperti belajar di pesantren, belajar Islam di Masjid Salman menyenangkan. Tercatatlah sejumlah nama-nama ulama di Bandung yang menjadi guru dan idola saya. Selain mendengarkan kuliah-kuliah dari guru-guru itu, sayapun mempelajari Islam secara otodidak dengan membaca buku-buku. Karena waktu membaca lebih banyak dari waktu bertatap muka, wajarlah kalau rasanya apa yang saya peroleh dari buku-buku lebih banyak. Maklumlah di perpustakaan Salman banyak buku. Pinjam buku kiri kananpun tak sulit.
Di Salman kami mengkaji, membaca dan mendiskusikan berbagai macam model gerakan perjuangan penegakan syariah yang pernah dan sedang berlangsung di Indonesia dan juga di dunia. Sejak itu, saya mulai mengenal berbagai aliran dan perbedaan pandangan dan pemikiran dalam perjuangan Islam. Saya melihat selalu ada khlafiahnya. Saya melihat pola perjuangan dimana-mana tak sama. Perjuangan, seluruhnya, hampir tak terpimpin. Maaf, ini pandangan saya waktu itu.
Tapi aneh, dalam pembelajaran yang saya tempuh melalui buku-buku yang bertumpuk di Perpustakaan salman, saya tidak pernah sekilaspun melihat buku-buku karya Abuya. Itu padahal di tahun 80-an, di saat perjuangan Abuya sedang gencar-gencarnya di Malaysia. Saya malah menemukan banyak buku karya pejuang dari Pakistan dan bahkan Amerika dan Inggris.
Sebagai penggemar sastra, saya banyak mengoleksi puisi terutama puisi-puisi religious bernafaskan Islam. Ada karya Iqbal, Sa'di, Gibran dan lain-lain sampai dengan Taufiq Ismail. Dalam hal puisipun tidak ada karya Abuay dalam koleksi saya. Allah nampaknya berkehendak lain. Dia tak pertemukan saya dengan seorangpun yang membawa saya dapat mengenal Abuya. Sampai sekarangpun, saya tak faham apa rahasia dari semua ini. Apakah Allah menghendaki saya mesti bertualang lebih dulu sebelum saya diperkenalkan dengan kebenaran yang hakiki? Wallahu a'lam.
Semangat mempelajari Islam saja ternyata memang tidak cukup untuk berjuang. Perjuangan memerlukan ilmu. Lebih-lebih lagi, perjuangan memerlukan suluh pimpinan. Ilmu tanpa pimpinan tak akan memadai. Setumpuk teori yang diperoleh dari kajian demi kajian tak akan banyak membantu. Memperkatakan Islam, mendiskusikannya, termasuk menyelengaarakan seminar, kursus, ceramah, pelatihan dll tak akan menyelesaikan masalah. Karena mengkaji dan mengkaji itu mudah, maka diimana-mana hanya itulah yang dapat dibuat.
Kenyataannya, jangankan memperjuangkan Islam dalam peringkat negara, dalam peringkat kelompok kecil saja banyak tak berjalan. Islam tak lahir dalam perbuatan. Hafal di luar kepala bahwa "ilah" itu hanya Allah, tapi kenyataannya kita punya ilah yang lain, yaitu hawa nafsu. Hawa nafsulah yang berkuasa. Islam tinggal pada kertas kerja atau makalah-makalah.
Sampai sejauh itu saya masih belum puas dalam pencarian. Di setiap pencarian, saya tidak menemukan format perjuangan yang pas buat saya betapapun saya telah lelah menyelaminya. Jenuh juga rasa hati lama kelamaan.
Berkali-kali saya berpindah-pindah jamaah, berpindah-pindah guru, berpindah-pindah buku dan berpindah-pindah idola. Bahkan telah saya coba pula berjuang sendiri full tanpa guru, belajar saja melalui buku, berjuang tanpa jamaah. Akhirnya apa? Semuanya membawa saya kepada suatu titik stagnasi berat. Kepala terasa dipenuhi oleh impian, data, tapi hati terasa hampa. Amal tetap tak sanggup direalisasikan. Akhlak tak layak untuk diketengahkan. Cita-cita terlalu besar, tapi daya tak cukup. Dunia ada di atas kepala. Agama hanya dapat dimunculkan di mimbar-mimbar khutbah. Akhirat hanya ucapan di bibir. Tenggelamlah saya dalam sekularisme akut.
Menjelang 1994 yang lalu, saya pernah dengar ribut-ribut tentang Darul Arqam. Tak tahu persisnya apa yang diributkan. Tapi waktu itu saya tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu lebih banyak. Sedikit yang saya dengar diantaranya "Darul Arqam mesti dilarang","Ajarannya sesat". "Pemimpinnya di Malaysia sudah ditangkap" dan lain-lain.
Karena sudah terbiasa dari dulu mendengarkan tuding saling sesat menyesatkan dalam perjuangan, saya tidak terkejut. Saya fikir mempelajari kasus Arqam waktu itu hanya akan semakin menambah beban berat kepala yang penuh dengan kajian keislaman yang bersifat teori dan tidak aplikatif. Saya khawatir semua perjuangan yang ada sekarang sudah tidak memiliki pola yang sistematik. Bahkan saya berpikir tak ada lagi kepemimpinan yang efektif dalam jamaah Islam dimanapun. Saya waktu itu lebih tertarik untuk bekerja saja di bidang saya, sebagai seorang insinyur menggeluti berbagai teknologi dalam dunia industri, khususnya minyak dan gas bumi.
Suatu berkat yang tak terhitung harganya, akhirnya saya dipertemukan oleh Allah dengan seorang saudara saya di bulan Januari 2002, yang tak pernah saya duga sebelumnya, yaitu Ust M Rizal Khatib, yang telah saya sebutkan sebelum ini. Beliau murid Abuya. Beliau salah seorang pimpinan Rufaqa Indonesia, yang dulu bernama Hawariyun. Kasus beliau hampir sama dengan saya. Beliau pernah aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sejak itu saya merasa punya kawan baru untuk membimbing saya keluar dari gua. Ada nilai batiniyah yang terungkit kembali sejak pertemuan saya dengannya.
Dari beliau, saya mendengarkan dan berbincang banyak tentang Abuya, tentang Arqam, bahkan termasuk tentang berbagai isu negatif "sesat" yang dilemparkan kepada Abuya yang beredar di masyarakat. Dengan beliau saya dapat penjelasan mengenai hakikat "kultus individu", "bid'ah", dan lain-lain yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang kurang simpati dengan Abuya. Saya beruntung karena saya mendengar langsung penjelasan dari orang yang dekat Abuya.
Setelah saya banding-bandingkan, perbedaan nyata antara perjuangan Abuya dari perjuangan kebanyakan pejuang Islam adalah, bahwa perjuangan Abuya menitikberatkan pengamalan. Dalam istilah beliau zahirina 'alal haq. Perjuangan kebanyakan tokoh-tokoh Islam adalah pembicaraan atau pengakajian yang disebut qailiina 'alal haq.
Sebentar dulu! Saya baru saja membicarakan suatu pengantar menyelami metodologi perjuangan Abuya. Di tulisan berikutnya akan saya sampaikan lebih detail pemikiran-pemikiran Abuya, baik yang saya lihat sendiri maupun yang saya pelajari dari buku-bukunya.
Kamis, Agustus 28, 2008
UNTUKMU ABUYA*
Ketika aku melihat wajahmu, terbayang olehku luasnya pandanganmu. Ketika ku sentuh jemari dan retak tumit kakimu, terbayang oleh ku beratnya beban yang kau pikul dalam menelusuri jalan. Pelipismu dan dahimu menunjukkan wibawa. Dari senyummu tergambar kasih.
Salahkah aku jika aku membayangkan wajah Rasul seperti wajahmu? Kalaupun bukan wajah rasul, setidak-tidaknya wajahmu mirip wajah khalifahnya.
Aku tak dapat membayangkan wajah Rasulullah. Aku mengenalnya hanya melalui potongan-potongan sirah dan sunnah, melalui buku, lisan ayah ibu, dan lisan guru di sekolah. Rinduku tak kan tertahan untuk berjumpa dengannya. Buah cintamu yang dalam pada Rasul Allah itu, kini kau pantulkan untuk zaman ini. Bagaikan bulan memantulkan cahaya matahari ke bumi. Aku di bumi. Ketika ku lihat bulan, teringat aku akan matahari.
Aku tidak bisa mengeja ucapanmu, kata demi kata. Telingaku terlalu tuli oleh hiruk pikuk dunia. Tapi, setitik air mukamu bicara lebih hebat dari seribu artikulasi. Yang bagaikan peluru tajam merobek-robek jantungku. Senyum Ummi Nur, Kejujuran Ummu Jah, dan Keramahan Ummu 'Ain padaku, berpadu melahirkan cinta seorang ibu untuk anaknya yang telah lama hilang.
Engkau tidak membedakan anak keturunan dan murid asuhan. Engkau pandang mereka satu ikhwan. Oh ramainya majlismu, bagaikan telaga jernih dan teduh, yang didatangi para pengembara yang haus.
Aku datang ke Labuan dengan satu pertanyaan. Kini aku pulang dengan seribu jawaban. Aku datang ke Labuan dengan satu keraguan. Kini aku pulang dengan segudang keyakinan.
Kini aku mesti bangkit dari keterlenaan duniawi yang berurat di hati.
Tempatkan aku wahai Abuya di medan juang. Medan yang pernah, sedang, dan akan kau lalui. Tempatkan aku dalam barisan ikhwan yang dijanjikan. Yang sedang menebarkan kasih di medan peperangan di bawah satu pimpinan.
Tapi jangan kau tempatkan aku terlalu di depan. Aku masih lemah menerima cabaran. Tapi jangan pula engkau tempatkan aku terlalu di belakang. Aku takut tercecer barisan dan tersesat jalan.
Aku mesti ikut berjuang seperti engkaupun berjuang. Membawa manusia kepada Tuhan. Membawa manusia berkasih sayang.
Dekaplah daku dalam kejauhan. Senyumlah padaku bila-bila masa daku dalam kesepian. Aku mayat yang dimandikan, Engkau yang memandikannya. Aku kayu yang diukir, Engkau yang mengukirnya.
Ya Allah berilah Abuya dan Keluarga kekuatan lahir dan bathin, raga dan jiwa, dalam membimbing kami mencintai-Mu, mengikut Rasul-Mu dan mengasihi sesama
Jufran Helmi
( Aku tulis dalam pesawat terbang antara Labuan dan Kuala Lumpur 10 Jan 2003 malam)
*Abuya Syeikh Imam Ashari Muhammad At-Tamimi
Pertama Kenal Abuya Ashaari Muhammad
Di bagian inilah saya ingin mengisahkan tentang awal perkenalan saya dengan tokoh pembaru yang sangat kesohor, yang sudah berjuang untuk Islam sejak beliau masih belia sampai ke hari di saat usia beliau 71 tahun ini.Kalau saja nanti dalam tulisan-tulisan saya banyak menyebut nama beliau, tak seorangpun merasa asing dengan nama itu, karena saya telah memperkenalkan sedikit. Nanti, akan saya uraikan lebih rinci siapa beliau dan karamah apa yang telah terjadi dalam hidup saya sehingga saya memperoleh kesempatan mengaut ilmu dari beliau.
Bagaimana kisahnya? Ikuti perjalanan nerikut bersama saya!
Kami biasa memanggil beliau dengan panggilan abuya, yang dalam Bahasa Indonesia sepadan dengan panggilan ayah. Semua, anak, murid, maupun simpati, memanggilnya Abuya. Itulah panggilan kesayangan kami untuk beliau. Selalu pula kami iringi panggilan itu dengan panggilan syeikh dan imam sebagai tanda penghormatan. Dalam pandangan kami beliau adalah seorang syeikh dengan seluruh khasanah ilmu dan pengalamannya yang melimpah ruah yang tak pernah habis mengairi jiwa kami. Beliau juga seorang imam yang memandu hidup kami ke jalan Tuhan. Demikianlah kami selalu memanggil beliau Abuya Syeikh Imam. Kami sayang sekaligus hormat.
Setelah saya renung-renungkan siapa saya, rasanya terlalu mustahil saya bisa berjumpa, apalagi berkesempatan berguru, dengan seorang mursyid agung, pemimpin di zaman ini, Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At-Tamimi. Beliau tinggal di seberang sana, di Malaysia, sementara saya tinggal di sini, di Palembang atau di Jakarta. Jauh panggang dari api. Beliau bagaikan api yang terus menyuluh jiwa-jiwa yang haus yang selalu berdatangan yang berkenan menerima nasehat-nasehatnya, sementara saya setiap hari terpanggang oleh panasnya dunia yang disulut oleh hawa nafsu yang bersemayam di hati.
Ternyata Tuhan berkehendak lain. Allah yang Maha Penyayang pada saya akhirnya menjumpakan saya dengan seorang pemimpin tareqat terbesar di abad ini, seorang sufi, seorang pejuang pembaru yang fatwa-fatwanya telah mengguncang dunia Islam. Dengan segenap kelemahan dan kenekatan saya, kinipun saya telah berbaris di belakangnya.
Perkenalan saya dengan Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At-Tamimi belum begitu lama. Ia bermula di suatu hari bersejarah 13 Januari 2002. Waktu itu, dengan izin Allah, saya diundang menghadiri suatu pertemuan yang diberi nama Kongres Ummat Islam Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh kawan-kawan dari Majlis Mujahidin di Palembang. Saya bukan anggota Majlis Mujahidin. Saya cuma undangan saja, karena beberapa kawan saya memang bergabung di situ. Mereka memberi saya undangan sebagai pendengar.
Undangan kongres itu menarik minat saya karena temanya hebat. Temanya penegakan syariah Islam. Waktu itu saya belum tahu benar apa gagasan inti yang akan disampaikan dan materi apa saja yang akan didiskusikan. "Ini suatu kesempatan mengulang-ulang kaji lama." pikir saya. Telah lama rasanya saya tidak mengaji dan mengikuti perkembangan pergerakan Islam akhir-akhir ini. Yang jelas, saya yakin dalam pertemuan itu saya dapat mendengar berbagai paparan terkini mengenai upaya penegakan syariat dari tokoh-tokoh atau mujahid-mujahid.
Saya tahu, ini suatu ide yang sangat besar dan berat, sekaligus penuh tantangan. Telah banyak yang menggagasnya dari dulu dan sebanyak itu pula yang tak mengutak-atiknya lagi sekarang. Entah kerena sibuk atau kehabisan bahan.
Intinya, di kongres inilah saya mendengarkan salah satu paparan mengenai ekonomi Islam. Seorang ustaz, kira-kira seusia saya, tampil berserban. Dia dibantu oleh beberapa orang, dua atau tiga, untuk menyusun-nyusunkan makalah dan mengatur laptop, pemantul dan layarnya. Semua yang membantu itu juga berserban. Nampaknya mereka sengaja berseragam. Ustaz memperkenalkan diri bahwa beliau dari suatu group usaha yang bernama Hawariyun. Beliaupun kemudian membuka paparannya dengan suatu penjelasan ringkas bahwa di forum ini beliau hanya akan memfokuskan pembicaraan di sekitar pengalaman kelompok Hawariyun. Maksudnya, beliau tak akan banyak bicara tentang penegakan syariat Islam di Indonesia apalagi di dunia. Beliau hanya akan membicarakan susah senangnya bersyariat di suatu usaha ekonomi yang dicita-citakan menjadi role model dunia: Hawariyun.
Pembicara itu adalah Ustaz Ir. M. Rizal Khatib, MSc. Beliau adalah salah seorang pimpinan Hawariyun Indonesia. Pertemuan itu rasanya tak terlupakan. Beliau tampil sederhana. Kata-katanya halus berbudi bahasa. Saya tak bisa melupakannya. Kostum yang digunakannya mengingatkan saya akan wali-wali dari tanah jawa yang telah berhasil mengislamkan sebagian besar wilayah nusantara di abad ke 13 M yang lalu. Beliau berserban yang dililitkan di kepala, serta memakai celak mata. Beliau berbaju teluk belanga putih dengan stelan jas berwarna krem muda dengan cantolan dipundaknya, ala jas Bung Karno tempo dulu. Kawan-kawan lainnya, yang ikut membantu paparannya menambah kesan teduh dan meneduhkan. Mereka orang-orang halus (maksud saya kesantunannya), yang berserban dan juga bercelak mata.
Paparan Ustaz Em (panggilan akrab ustaz ini) terasa mengalir lancar. Kata-kata yang disampaikan begitu indah. Gambar-gambar dari laptop yang disorotkan ke layar sangat mendukung penjelasan-penjelasannya. Beberapa kali diselingi pula dengan pembacaan puisi. Lucu sekali, kok puisi judulnya "Ekonomi Islam"? Tapi itulah adanya.
Saya katakan tadi bahwa itulah hari bersejarah. Mengapa? Karena hari itu saya memulai babak baru kehidupan saya. Terus terang, dari semua presentasi yang disampaikan dalam kongres itu oleh pembicara yang berganti-ganti, paparan mengenai ekonomi yang disampaikan oleh Ustaz M Rizal Khatib paling menarik saya. Maaf, saya tidak bermaksud mengatakan presentasi yang lain tidak bagus. Bagus! Saya tertarik pada paparan itu, barangkali karena materinya berkaitan dengan persoalan aktual yang sedang saya hadapi. Waktu itu saya sedang menghadapi kesulitan dalam mengelola satu koperasi yang saya rintis bersama kawan-kawan di Kota Prabumulih dari tahun 1997 yang pada waktu itu sudah terancam tutup. Artinya, masalah saya ada kaitan dengan ekonomi.
Dengan alasan itu, saya merasa presentasi itu perlu diperpanjangkan. Maksudnya, presentasi itu perlu dikaji lebih jauh lagi dan saya sangat bersedia mengikuti walaupun saya harus duduk di sana lebih lama lagi. Tapi tak mungkin, panitia telah menjatahkan waktu kongres untuk banyak pembicara.
Setelah presentasi, Ustaz keluar. Orang-orangpun keluar dan saya juga keluar, karena azan Zuhurpun berkumandang. Tapi, selepas shalat berjamaah di mesjid Asrama Haji, tempat seminar itu berlangsung, saya dan tiga orang kawan menemui Ustaz Em di salah satu ruangan yang disediakan panitia untuk semua pembicara. Sayapun mengundang beliau datang ke Kota Prabumulih untuk membicarakan lebih lanjut paparan yang beliau sampaikan di kongres. Saya katakan bahwa paparannya sangat menarik dan penting bagi saya dan kawan-kawan di Prabumulih. Kalau ustaz bersedia, saya berjanji untuk mengumpulkan beberapa orang untuk bergabung untuk mengaji masalah ekonomi ini bersamanya sampai tuntas. Kami ingin mendapat informasi lebih banyak, terutama hal-hal yang tak akan cukup waktunya kalau dibicarakan di kongres.
Apa yang terjadi? Gayung bersambut, katapun berjawab. Dengan izin Allah yang Maha Kaya, pertemuan selanjutnya berhasil diadakan di Prabumulih. Salah seorang kawan bersedia meminjamkan rumahnya untuk tempat acara. Yang lain menyediakan makan minum. Mungkin ada sekitar lima atau enam orang yang berpartisipasi dalam acara itu secara aktif sampai acara itu selesai.
Apa kaitannya dengan Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi?
Nah, dari pertemuan di Prabumulih itu barulah saya tahu, bahwa konsep pemikiran yang disampaikan di kongres itu adalah konsep pemikiranan Abuya. Luar biasa! Ustaz Em membocorkan rahasia, bahwa kemana-manapun ia memberi ceramah, yang dibawakannya selalu konsep Abuya. Konon kabarnya, beliau dan kawan-kawannya telah mengusung konsep itu sampai ke Timur Tengah, Eropah, dan Australia. Bukan hanya konsep ekonomi, tapi juga telah disampaikan konsep politik, pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan Islam menurut pandangan Abuya Ashaari Muhammad At Tamimi.
Mula-mulanya saya sedikit agak kaku menyimak pelajaran dari Ustaz Em. Banyak istilah yang asing bagi saya, terutama istilah-istilah berbahasa Melayu. Istilah-istilah seperti minda, tolak angsur, rasa bertuhan, rasa kehambaan baru sekali itulah saya dengar. Walaupun asing, tapi istilah itu terasa menarik. Selama ini kita membunuh istilah-istilah Melayu dalam khasanah masyarakat kita dengan istilah-istilah Inggris atau Belanda. Katanya "biar keren abis". Bahkan dalam pelajaran agamapun kita lebih terbiasa menggunakan istilah berbahasa Arab asli daripada menggunakan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Sebutlah contohnya. Beberapa kawan di Indonesia katanya lebih mantap dan terbiasa menyebut saum daripada puasa. Saya, mungkin juga anda pasti merasa lebih nyaman menyebut shalat daripada sembahyang. Bahkan saya sendiri agak kaku kalau menyebut Tuhan. Biasanya saya menyebut Allah. Jika disebut Tuhan, kesannya seperti kawan-kawan agama lain menyebut.
Baiklah, saya tak akan memperpanjangkan masalah istilah-istilah ini di sini. Saya akan memperbincangkan persoalan istilah-istilah ini di tulisan yang akan datang. Kita kembali ke masalah konsep Abuya semula.
Dalam pertemuan dengan Ustaz Em itu, selain konsep ekonomi, dibahas pula konsep-konsep lain seperti politik, pemerintahan, pendidikan, kebudayan, dan pembinaan masyarakat walaupun secara ringkas-ringkas. Dibicarakan juga disitu bagaimana trik-trik Abuya dalam pembinaan keluarga dan jamaahnya. Diulas pula di situ banyak metodologi Abuya memahami Kitabullah dan Sunnah. Kagumlah saya, betapa luasnya pandangan seseorang yang belum saya kenal secara rinci itu kecuali melalui lidah Ustaz Em. Beliau memiliki jawaban atas banyak masalah yang selama ini saya dan kawan-kawan pertanyakan. Tentunya, saat itu pembahasannya belum mendalam. Saya faham bahwa tak mungkin mendalami semuanya dalam waktu yang terbatas seperti itu.
Kami menahan Ustaz Em tiga hari tiga malam di Prabumulih. Walaupun demikian, saya belum merasa cukup mengenal Abuya. Saya masih punya PR berikutnya. Untuk sekedar pemanasan, lumayanlah. Itu cukup untuk mengenal secara garis besar plot perjuangan Abuya beserta murid-muridnya.
Abuya ternyata bukan hanya guru seperti kebanyakan guru yang kita kenal. Beliau adalah pejuang, yang sejak mudanya berdakwah mengajak manusia kepada sistem Tuhan. Di usia mudanya, beliau mendirikan dan memimpin Arqam, sampai Arqam itu dilarang di Malaysia. Sekarang beliau memimpin jamaah yang jauh lebih besar dari Arqam. Jamaah beliau adalah jamah tareqat, yang tak hanya menghabiskan waktu dengan wirid, tapi berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat. Beliau seorang pakar sekaligus pelaku ekonomi. Bahkan beliau seorang pakar dan pelaku sejarah sekaligus. Beliau berjuang tanpa kekerasan. Halus tapi menghanyutkan.
Yang lebih unik, beliau ternyata juga seorang intelektuaal dan pujangga besar dengan ratusan karyanya, baik dalam buku-buku panduan, maupun dalam bentuk puisi maupun prosa. Beberapa puisinya dibacakan waktu itu dan nasyidnya didendangkan. Kami pun terharu.
Itu belum selesai. Saya akan jelaskan mengapa pola perjuangan Abuya berbeda dari perjuangan pejuang-pejuang Islam lainnya. Ada satu yang khas ayang akan saya ceritakan, yaitu suatu metodologi yang unik yang beliau gunakan dalam memberikan pembelajaran kepada murid-muridnya dalam mengamalkan dan menyebarkan Islam, yaitu ekpedisi. Ikuti cerita saya di edisi selanjutnya.
Sedikit tentang ayah, ibu dan aku.
Aku dilahirkan dari keluarga guru. Ayahku guru agama, yang saban Jum'at mengajar agama melalui khutbah-khutbahnya di masjid atau ceramahnya di radio. Beliau selalu menuliskan khutbah dan ceramah beliau. Jarang beliau berceramah ataupun berkhutbah tanpa teks. Untuk nafkah keluarga, beliau bekerja sebagai pegawai negri di kantor pajak sampai beliau pensiun. Dalam kehidupanku, beliau adalah figur yang luar biasa. Beliau tak banyak bicara. Beliau sangat menjaga lidah agar tak seorangpun boleh tersakiti. Bagiku, juga bagi kakak dan adikku, beliau adalah simbol kejururan dan kesederhanaan hidup. Beliau contoh pribadi yang ideal, sehingga harus kami akui, bahwa kami tak pernah bisa meniru. Beliau hidup kana'ah. Kalau ada yang bertanya padaku seperti apakah jujur, zudud, dan kana'ah itu, aku akan teringat dengan ayah.
Masa kecil ayahku dihabiskan di pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukit Tinggi. Sering beliau ceritakan kisah-kisah tingkah polah kawan-kawannya sewaktu beliau belajar di Pesantren. Sering beliau tertawa sendiri ketika teringat dengan kejadian-kejadian lucu, betapapun kami kadang tidak merasa lucu.
Ibuku juga guru. hampir seluruh usia karirnya diabdikannya sebagai guru sekolah dasar. Bahkan ketika beliau sudah pensiunpun semangat mengajarnya belum pudar. Ketika sudah pensiun dan cukup lama beliau tinggal bersamaku, beliau masih sempatkan mengajar anak-anak tetangga mengaji selepas maghrib sambil menunggu 'isya. Ibu bersawah setiap pulang dari mengajar, biar beberapa bidang sawah warisan dari orang tuanya tak terlantar. Walaupun digarap secara paruh masa, hasil sawah itu cukup memadai untuk menghemat belanja keluarga kami karena tak perlu lagi membeli beras. Di musim-musim merumput di sawah, Ibu selalu membawa pulang cikarau atau kalayau, sejenis rumput sawah, tapi enak dimakan bila telah direbus. Aku senang menyantapnya, apalagi Ibu menghidangkannya pakai cabe uap yang digiling kasar.
Ibuku juga orang pesantren. Beliau pernah belajar di pesantren Madrasah Irsyadunnas, Padang Panjang semasa gadisnya. Walaupun Ibu terampil bercerita, cerita ibu di pesantren tak sebanyak cerita ayah. Mungkin cerita di pesantren tak ada yang lucu bagi Ibu. Ibuku seorang pelucu. Ibu pandai memilih-milih cerita yang lucu-lucu. Aku kakak beradik, apalagi ayahku, kadang-kadang harus memegang perut kencang-kencang untuk menahan tawa kalau beliau bercerita, sementara beliau sendiri tak sedikitpun merasa geli. Berbeda dengan ayah yang selalu menceritakan true story, cerita Ibu sering berwujud fiksi, alias karang-karangan. Kami tahu itu. Beliau kaya dengan anekdot-anekdot lucu seputar karib kerabat. Mungkin awalnya juga true story, tapi Ibu tak lupa memberinya bumbu hingga bisa selucu itu. Sayang sekali, beliau jarang menulis, sehingga cerita-cerita itu tak terdokumentasikan.
Kini, ayah ibuku sudah tak ada karena telah lama wafat. Keduanya dimakamkan dalam liang kubur yang sama, di Karet, Jakarta.